Saturday, January 20, 2007

Perspektif Lain Soal Pembaruan Islam

Opini, Republika (January 19, 2007)

Al Makin

Tulisan berikut mencoba menanggapi dua artikel terdahulu, Hamid Fahmi Zarkasyi (28/12/06) dan Ismail F Alatas (5/01/07), yang kurang lebih berkenaan dengan kritik terhadap para pemikir pembaruan Islam di Indonesia semisal Nurcholish Madjid dan Harun Nasution. Terasa unik, terutama Nurcholish sampai meninggal dan mungkin juga yang lainnya hampir tidak pernah menjawab secara langsung segala kritik pedas. Paparan berikut berfokus pada deskripsi kritik yang telah dilontarkan.

Tipologi kritik
Perkenankan penulis membuat tiga tipologi kritik: defensif, penolakan westernisasi, dan epistemologi. Pertama, kita menjumpai sikap defensif terhadap pembaruan yang diajukan oleh para pemikir kita. Hal ini bisa dikategorikan sebagai pro status qou. Dalam perspektif ini hal baru yang ditawarkan dianggap sebagai ancaman terhadap kemapanan yang ada, baik itu pada dataran teologis maupun anggapan kemapanan struktur yang ada (politis maupun sosiologis). Keprihatinan kita adalah penolakan yang dijustifikasi dengan akidah, seperti pengkafiran. Kritik semacam ini mengandung resiko bahaya yang nyata: tidak menawarkan pendewasaan dalam masyarakat yang majemuk dan karenanya tidak perlu dikembangkan di masa depan.

Bisa dipukulratakan bahwa kritik ini berlandaskan dari Welstanschaung hitam-putih (baca: simplifikasi). Jika tidak Muslim tentu kafir. Pandangan ini berakibat pada pembenaran transendental suatu ideologi dan bahkan mengarah pada sakralisasi diri sendiri. Pola pikir ini juga memicu pada lahirnya radikalisme dan fundamentalisme.

Sikap simplifikasi juga berarti mengingkari seluruh kompleksitas sejarah pemikiran peradaban dalam dunia Islam yang kosmopolit. Berbagai cabang ilmu keislaman telah sedemikian berkembang selama berabad-abad termanifestasikan dalam kalam, fikih, filsafat, sejarah, sastra, bahasa, arsitektur, geografi, biologi, astronomi, kedokteran dan lain-lain disimpulkan menjadi dua pilihan tegas: Islam atau kafir. Tetapi, simbolisasi superfisial ini mudah diterima khalayak karena kesederhanaannya. Sedangkan kerumitan sejarah dan logika pengetahuan tidak mudah untuk dicerna, sehingga pada tingkat diseminasi masih terasa elitis.

Karena canggihnya teknologi era komunikasi saat ini, Welstanschaung semacam itu tidak sulit untuk dijumpai di berbagai media online seperti blogspot pribadi, situs kelompok tertentu, dan bermacam-macam mailing-list. Patut disayangkan, pola pikir itu masih terus diupayakan hidup dan berkelanjutan dengan berbagai kepentingan yang menyertai.

Penegasian tidak hanya berhenti pada figur-figur semacam Nurcholish Madjid, Harun Nasution, Mukti Ali, Ahmad Wahib, Dawan Rahardjo, atau Djohan Effendi tetapi pada generasi selanjutnya seperti Azyumardi Azra, Syafi'i Ma'arif, Djalaluddin Rachmat, Abdurrahman Wahid atau Amin Abdullah. Sedangkan kelompok lebih muda yang sedang gelisah dan baru mencari format pun tak pelak juga menerima hujatan.

Kedua, masih segaris dengan sikap penolakan adalah pengembangan mitos dengan mencurigai bahwa segala pembaruan yang ditawarkan pasti berkutat pada persoalan sekularisasi, westernisasi, dan liberalisasi. Pelabelan semacam ini berakibat pada sikap berprasangka dan tidak jernih dalam memahami pemikiran seseorang.

Yang kita perlukan adalah mengapresiasi karya dari para pemikir kita sendiri. Para cendikiawan tersebut tentu telah mengalami kristalisasi pengalaman dalam bergulat dengan khazanah pemikiran Islam. Dengan prasangka buruk kita akan terhalangi untuk membaca dengan telaten karya-karya mereka.

Ketiga adalah wilayah epistimologi. Disinilah pintu terbuka lebar bagi karya-karya itu untuk kita apresiasi dan beri kritikan. Sebetulnya pembacaan serius telah dimulai seperti Ali Munhanif (1996); Greg Barton (1999); Yudian Wahyudi (McGill, 2002); Fauzan Saleh (McGill 2000; Brill 2001); dan lain-lain. Namun, hasil riset tersebut masih terbatas pada lingkaran akademik tertentu. Khusus untuk pemikiran Nurcholish di Indonesia sudah cukup diapresiasi oleh orang-orang seperti Amir Aziz (1999), Anas Urbaningrum (2004), atau Ensiklopedi Nurcholish yang dimotori oleh Buddy Munawar Rachman. Namun, pembacaan yang apresiatif dan kritis dengan perspektif-perspektif baru masih jauh dari selesai.

Komentar terhadap kritik
Untuk sementara, kritik epistemologi yang didasarkan pada pencarian sumber sang pemikir terasa sudah usang. Foucault dan Derrida berkali-kali menegaskan bahwa klaim keaslian itu semu, karena dunia ini ada sebelum para pemikir itu lahir. Seorang pemikir mewakili ruang dan waktunya, di mana ia tidak bisa lari dari gesekan dan pengaruh yang melahirkan internalisasi dalam karyanya. Maka, sulit diterima jika para pemikir yang lahir dari Bumi Pertiwi ini hanya digambarkan tunduk terhadap hegemoni konsep modernisasi atau post-modernisasi Barat. Yang jelas, mereka atau bahkan kita hidup di era modern atu post-modern yang selalu menjawab persoalan yang ada.

Begitu juga kritik hegemoni bersumber dari dialektika filsafat Barat. Foucault lah yang mengemukakan relasi-kuasa. Selanjutnya, Edward Said menggunakannya dalam wacana orientalismenya. Teori post-kolonial juga memakai referensi kurang lebih sama. Logika kritis Barat sendiri juga tidak asli tapi bersumber dari Yunani, Latin, dan bahkan Islam. Tradisi berfikir Islam sendiri sangat kompleks; jika Damaskus (Umayyah) bersinggungan dengan Roma Timur/Bizantium, maka Baghdad (Abbasiyah) dengan tradisi Persia. Belum berbicara peradaban-peradaban Islam lainnya. Akhir kata, tidaklah memalukan mengakui bahwa khazanah kita tidak benar-benar asli dan mandiri.

Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kandidat Ph D Universitas Heidelberg, Jerman.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home