Thursday, November 18, 2010

Kurban dan Bantuan Kemanusiaan

Kurban dan Bantuan Kemanusiaan
Selasa, 16 November 2010 | 05:31 WIB, opini Kompas

Al Makin

Apakah Ishaq atau Ismail yang dikorbankan sang Bapa Ibrahim: apakah itu menurut keimanan Yahudi, Kristiani, atau Islami? Apakah penggantian domba oleh Tuhan sendiri atau titah diperantarakan lewat malaikat?

Pelajaran yang sepadan tetap mungkin terpetik, yaitu mengorbankan yang kita cintai demi keridaan Ilahi, untuk kemanusiaan, dan makhluk lain di alam. Demi keberlangsungan kehidupan manusia secara kolektif ini dalam menghadapi ketidakteraturan semesta ini, kita dituntut untuk berkorban.

Perlu diingatkan bahwa keikhlasan adalah inti yang tertuju dalam upacara Idul Adha karena hewan kurban yang harus direlakan, berupa sapi, kambing, kerbau, atau unta, adalah simbol dari harta benda yang didapat dengan peluh dan keringat.

Jika Ibrahim mengorbankan sang anak yang selama ini ditunggu kelahirannya, demi rida Ilahi, sekadar darah dan daging hewan ternak belumlah sejajar. Tentu saja, saat ini tidaklah relevan jika anak atau sanak famili dikorbankan. Itu bukan hakikat dari ajaran pengorbanan di hari suci ini. Makna—sebagaimana diajarkan dalam hermeneutika Yunani, Biblikal, atau Qurani—telah bergeser dikarenakan situasi, konteks, dan waktu.

Sebagaimana ritual korban setiap tahun diselenggarakan oleh umat Islam Indonesia, gairah dan spirit kurban telah dirasakan di jalan-jalan utama sepanjang Pulau Jawa. Banyak poster dan iklan terpampang yang menawarkan berbagai hewan, dilengkapi dengan foto hewan gemuk, sehat, jantan, dan bertanduk.

Jika saatnya tiba, berbagai stasiun televisi dan radio akan menyiarkan ibadah shalat berjemaah, dengan khotbah yang lengkap dan berapi-api. Hampir semua khatib mengingatkan kembali betapa mulianya hari raya Idul Adha, yang ditandai dengan pembagian daging kurban, sebagai simbol kebersamaan dan rasa berbagi antarhamba Tuhan.

Yang berlebih mengusahakan seekor atau dua ekor hewan, dengan keikhlasannya menyerahkan makhluk itu kepada panitia yang akan segera mendistribusikan perolehan dagingnya kepada mereka yang tidak setiap saat bisa mencicipi protein daging yang tergolong mahal di negeri ini. Itu sebagai penanda rasa solidaritas, kemurahan hati, dan saling berbagi.

Kalimat terakhirlah yang perlu didengung-dengungkan dalam suasana Idul Adha.

Prima kausa dari kurban adalah mengamalkan solidaritas, berbagi, dan kemurahan hati, yang bisa dimanifestasikan dengan memberikan sesuatu untuk mereka yang memerlukan. Dalam bahasa Usul Fiqh (epistemologi hukum Islam), ini disebut illat, yaitu sesuatu bisa ditetapkan menjadi diharuskan (wajib), dianjurkan (sunah), dilarang (haram), atau dibolehkan (mubah), menurut hakikat ”sebab utama” yang bisa dikontekskan sesuai dengan ruang dan waktu.

Maka, solidaritas, berbagi, dan kemurahan hati saat ini bisa diwujudkan seiring dengan tuntutan keadaan, yang mewajibkan kita untuk mencapai hakikat.

Korban alam

Memang benar, saat ini tangan kita dipaksa untuk diulurkan ke saudara-saudara kita yang jadi korban ketidakteraturan alam di lembah Wasior, pantai Mentawai, dan kaki Gunung Merapi. Kosmos besar, yaitu semesta ini, sedang menunjukkan gejolaknya, terutama di bumi Nusantara (bahwa manusia tidak selamanya bisa mengendalikan alam).

Karena ketidakberdayaan kita untuk mengatur dan memprediksi bencana yang disebabkan oleh rotasi, struktur, dan kemisteriusan bumi ini, yang bisa kita lakukan saat ini adalah membantu yang tertimpa dampak yang tak terduga dan tak diinginkan tersebut.

Dus prima kausa berkorban saat ini bisa dikontekskan dalam suasana musibah alam yang melanda negeri kita. Dengan demikian, pengorbanan mungkin bisa diwujudkan dengan bantuan kemanusiaan, berupa barang-barang kebutuhan pokok yang diperlukan oleh mereka yang sedang mengungsi, misalnya makanan pokok, pakaian, tenda, air minum, alat-alat darurat, dan kebutuhan mendadak lainnya.

Jika figur Ibrahim—yang dalam tiga tradisi besar Yahudi, Kristiani, dan Islami diakui perannya sebagai peletak utama monoteisme—mengorbankan anaknya demi keridaan Tuhan, kita pun tertuntut menapak jalan yang sama, mengorbankan yang kita cintai untuk kemanusiaan, dengan menunjukkan solidaritas, kebersamaan, dan kemurahan, dalam menjawab ketidakteraturan siklus bumi ini.

Pembelian hewan kurban gemuk, sehat, dan bertanduk mungkin bisa dialihkan dengan transfer uang melalui rekening yang mungkin bisa dibelanjakan untuk kebutuhan barang-barang darurat yang diperlukan oleh para pengungsi.

Al Makin Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Wednesday, November 10, 2010

Mythical perceptions of nature and survival

Mythical perceptions of nature and survival

Al Makin, Yogyakarta | Mon, 11/08/2010 9:56 AM | Opinion, The Jakarta Post
A | A | A |

Keep in mind that the victims of natural disasters in Indonesia, such as the floods in Wasior, Papua, the tsunami in Mentawai, West Sumatra, and the volcanic eruption of Mount Merapi in Central Java, were not sinful people.

They did nothing wrong. Nor did they commit adultery or any other evil deeds. These disasters were not God’s punishment.

Thus, insensitive remarks made by Tifatul Sembiring, the current communications and information Technology Minister, are absolutely unsympathetic. He said moral “depravity and decadence” had led to the natural catastrophes. This is simply a delusion.

Once again, the victims, like all Indonesians, are innocent people, but were plagued by misery, and because of this we have to extend our hands to help them. Condolences should be conveyed. Those who were drowned in the flood, swept by away by mountain-like waves, and burned by hot lava and ash were not punished because of their wrongdoings.

Remember that the most devastating disaster in the country’s history was the tsunami that hit Aceh five years ago. But that happened neither because the people were rebellious to the central government in Jakarta nor because they failed to enact Sharia law as they do now. In this case, religious norms and ethics are not the root causes.

It is true that certain natural catastrophes, such as global warming and flooding in Jakarta, were the consequences of mischievous human behavior. Man has somehow contributed to these miseries. We mankind are not committed enough to keep the balance of our ecosystem.

Read more...