Friday, December 22, 2006

Menghindari Argumen Sirkuler Pluralisme

Opini, Republika (December 22, 2006)

Al Makin

Perdebatan tentang pluralisme di Republika cukup seru. Dimulai dari tulisan Syafi'i Ma'arif (21/11/2006) yang ditanggapi keras oleh Adian Husaini (01/12). Setelah itu, kita bisa simak beberapa tulisan yang membahas persoalan yang sama oleh Syamsul Hidayat (01/12); Fajar Riza Ul Haq (8/12); Zuhairi Misrawi (08/12); Bustanuddin Agus (15/12); dan Syamsuddin Arif (15/12). Tulisan berikut berusaha memaparkan pluralisme tidak semata sebagai suatu etika (das Sollen/sesuatu yang seharusnya), tetapi juga berusaha menunjukkan keanekaragaman sebagai sebuah fenomena yang telah dibuktikan oleh sejarah (das Sein).

Argumen sirkuler
Perlu disadari bahwa dua argumen berbeda, baik itu pro maupun kontra pluralisme, bisa terjebak ke arah sirkuler (baca: lingkaran setan/debat kusir), karena keduanya bertumpu pada teks yang sama (QS Al Baqarah 62 dan Al Maidah 69). Meminjam hermeneutika Gadamer, sebelum seseorang itu memahami sebuah teks, ia telah terkondisikan oleh keyakinan sebelumnya. Prakondisi inilah yang mempengaruhi hasil interpretasi. Suatu misal, jika seseorang itu sudah berpegang bahwa paham pluralisme tidak benar, maka ia akan membuktikan dengan berbagai dalil bahwa teks itu tidak menyuarakan paham pluralisme sama sekali. Begitu juga sebaliknya, bagi orang lain yang mendukung pluralisme cenderung melakukan hal yang sama. Tidaklah mengherankan dengan bunyi teks yang sama para pembaca menghasilkan pemahaman beragam.

Jadi, bagi mereka yang menyuarakan pluralisme dan toleransi beragama tidaklah cukup hanya memegang teks, baik itu ayat-ayat Ilahi, hadis nabawi, ataupun kaidah ushul fiqh. Karena interpretasi yang bertumpu dari teks-teks tersebut tidaklah berbeda dengan mereka yang berseberangan dan memegang fanatisme buta (baca: tekstualis/literalis). Sungguh ironis, jika kita melihat dua interpretasi yang berbeda tetapi dengan tumpuan legitimasi yang sama. Keduanya merasa benar, karena berdasarkan Kitab Suci. Sekali lagi, kaum pluralis akan terjebak pada debat kusir yang tetap mengemukakan argumen lingkaran setan. Walhasil, ini tak ubahnya hanya mengulangi kegagalan lawan bicaranya dalam berideologi. Ideologilah yang memengaruhi pemahaman, bukan sebaliknya.

Membaca sejarah
Sebuah teks tidak bermakna apa-apa jika tidak dibaca, meminjam Death of The Author-nya Roland Barthes atau Jacques Derrida, para pembacalah yang memegang peranan, karena merekalah yang selalu memaknai. Alquran sebagai Kitab Suci telah dibaca selama satu setengah millenium oleh berbagai cendekiawan Muslim dalam konteks ruang dan waktu yang beragam. Pada gilirannya, para pembaca inilah yang membuat sejarah peradaban manusia. Dalam sejarah sudah banyak dinasti Muslim silih berganti dalam peradaban Islam: dari Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyyah, Ayyubiyah, Turki Utsmani, Demak, Pajang dan mungkin terakhir adalah kita saat ini dalam konteks era globalisasi.

Sudah seharusnya kita menengok kembali sejarah, bagaimana hubungan tradisi Islam mengalami perjumpaan dengan tradisi keagamaan lain. Dalam konteks ini, makna yang menyejarah dalam QS Al Baqarah 62 dan Al Maidah 69 tidaklah terbatas dalam tafsir-tafsir konvensional, tetapi bagaimana pelaku sejarah itu beramal. Tafsir dari ayat-ayat tersebut hendaknya dilihat sebagai teori dan khazanah pemikiran, sedangkan sejarah menceritakan praktiknya dalam dunia nyata. Bukan berarti salah satu tidak penting, tetapi keduanya hendaknya dihubungkan.

Dalam hal ini kita perlu menyadari bahwa tidak selamanya perjumpaan Islam dengan tradisi keagamaan lain itu positif, kadang juga mengecewakan. Untuk yang terakhir kita punya cukup ruang untuk memikirkan kembali dan merevisi pemahaman masa lalu kita, tidak perlu berpegang erat dengan membabi buta.

Salah satu gambaran yang benar-benar pahit dalam sejarah adalah Perang Salib. Apa yang dihasilkan dari suasana konflik berkepanjangan antara Islam dan Kristen, atau bahkan antara Barat dan Timur? Masing-masing pihak menganggap dirinya paling benar, sehingga tidak menyisakan ruang kebenaran untuk lawan.

Tidak heran jika Dante Aligheiri, dari pihak Salib, menggambarkan Nabi Muhammad SAW dan Ali bin Abi Talib akan masuk neraka yang paling dasar. Tidak berbeda misalnya, Usamah bin Munqidh, dalam Kitab I'tibar-nya, menggambarkan tentara Frankis (Salib) tak ubahnya sebagai binatang (baha'im) yang dungu. Jika menyebut mereka, selalu disertai dengan laknatullah (dilaknat Allah) atau mereka sama najisnya dengan babi hutan (khinzir).

Pelajaran apa yang patut dipetik dari contoh kecil tersebut? Mungkin orang akan mempersoalkan bahwa konteks Perang Salib tidak ada kaitannya dengan QS Al Baqarah 62 dan Al Maidah 69. Itu semua adalah konflik politik. Selanjutnya, ayat-ayat itu hendaknya diposisikan dalam perdebatan teologis atau hukum Islam (kalam/fiqh) semata.
Namun, perlu diingat bahwa persoalan teologi dan politik tidak bisa dipisahkan begitu saja. Lahirnya kaum Khawarij, Syi'ah, Mu'tazilah, serta Ahli Sunnah tidaklah di ruang hampa. Semua dalam konteks sejarah di mana politik selalu menyertai. Gambaran relasi Islam dan Barat pada Perang Salib, juga berarti bahwa konflik politis itu memengaruhi pemahaman teologi Islam tentang relasi antaragama. Untuk itu kita pantas memikirkan kembali teologi antaragama yang dihasilkan serta berkaitan atau setelah era itu, misalnya Ibn Katsir, Ibn Atsir, atau Ibn Taimiyyah (yang mungkin juga sebagian dari referensi Hamka, walaupun secara tidak langsung).

Saat ini sudah tidak lagi relevan menolak keragaman dan pluralitas dalam dunia yang sudah sedemikian mengglobal, apalagi justifikasi yang digunakan adalah teologis. Keragaman adalah fakta sejarah. Ketidakmampuan kita untuk memahami akan menyeret peradaban yang sedang kita bangun pada kehancuran. Perang Salib adalah pelajaran berharga yang tidak perlu diulangi lagi. Dalam usaha memikirkan kembali, meminjam Habermas, kita tidak cukup hanya dengan mengerti pihak lain tetapi juga hendaknya saling memahami dan mengakomodasi. Contohnya adalah tidak memasukkan pihak lain dengan mudah dalam neraka, sebagaimana Dante.

Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. kandidat Ph.D Universitas Heidelberg, Jerman.

Saturday, December 02, 2006

Kemenangan Konservatisme Global

Opini, Republika (Oktober 17, 2006)

Al Makin

Artikel berikut berkait erat dengan dua Penulis sebelumnya: Azra (5 Oktober 2006) dan Maftuhin (9 Oktober 2006), namun tidak akan menjebakkan diri dalam perdebatan apakah politik Amerika telah menjadi teokratis atau tidak. Tetapi, penulis akan memandang dengan perspektif lain dan memberikan deskripsi tentang politik global yang cenderung ke arah konservatisme.
Tidak hanya George W Bush dan Amerika yang mengusung bendera agama dalam kancah politik, namun dua negara oenting dunia juga mengalami hal yang sama: Kanada dan Jerman. Dengan kemenangan Stephen Harper dan Partai Konservarifnya dalam pemilihan federal (Januari 2006) di negara dengan simbol daun mapel, Kanada kurang lebih mengikuti jejak Amerika dalam kebijakan politik.
Jargon-jargon konservatisme, seperti nilai-nilai keluarga, isu aborsi, isu pernikahan sejenis dan kembali ke gereja, menjadi tema favorit. Jerman dan Kanada Baik Bush maupun Harper pernah disinyalir sebagai pengkut Leo Strauss (meninggal 1973). Strauss adalah emigran Yahudi Jerman yang mempromosikan neo-konservatisme. Tuduhan itu tentu berkonotasi negatif, sebab salah satu ajarannya mengangap bahwa manusia dalam kemampuan berpikir tidak sejajar antara yang satu dan lainnya. Maka, segala kebijakan negara diserahkan sepenunya pada elite, sedangkan rakyat biasa tidak perlu tahu. Dalam kariernya, sejak awal Harper memosisikan dirinya sebagai oposisi dari Partai Liberal dan resmi menganut konservatisme mulai tahun 1986.
Tentu saja, Harper bukan Bush. Nama harum dia patut juga dicatat ketika dia mendukung permintaan maaf pemerintah Kanada untuk imigran Cina karena mistreatment masa lalu (1885-1923). Dalam konflik Lebanon-Israel, walaupun dia menegaskan bahwa Isarel berhak mempertahankan diri, namun yang dibutuhkan bukan hanya gencatan senjata sementara, tetapi sebuah resolusi yang lebih permanen. Protes Harper pada Amerika terakhir adalah kasus Maher Arar. Dia adalah warga kanada kelahiran Suriah, korban salah ciduk dan ditahan karena disangka terlibat dalam aksi terosirme.
Di Jerman konservatisme juga mengemuka dalam ranah politik. Ini ditandai dengan naiknya Angela Merkel secara resmi menjadi kanselir Jerman (November 2005), dengan mengendarai partai Christlich Demokratische Union (CDU) yang berkoalisi dengan Christlich Sozial Union (CSU). Koalisi ini mengalahkan Sozialdemokratische Partei. Pemilu ini juga berarti menurunkan Gerard Schrider. Merkel sendiri adalah penganut Protestan (Evangelis). Tampaknya relasi Jerman- Amerika saat ini lebih akrab ketimbang masa Schrider.
Dalam pidato Paus Benediktus XVI di Regensburg yang kontroversial karena kutipan perdebatan Islam-Kristen masa lalu, seperti mempertegas dirinya bahwa dia adalah seorang konservatif. Terlepas dari reaksi berlebihan umat Islam dan bagaimana sebetulnya posisinya secara pribadi, sebelum menjadi paus, Kardinal Ratzinger, sering kali mengritik nilai-nilai liberalisme, modernisme, dan relativisme.
Sedangkan mitra setia Bush dalam penyerangan Afghanistan dan Irak, Tony Blair berangkat dari Partai Buruh di Inggris. Walaupun sang istri adalah penganut Katolik, Blair sendiri enggan berterus terang tentang imannya sendiri. Bahkan pernah Sang Perdana Menteri menegaskan bahwa dia tidak menginginkan peran agama dalam ranah politik di Inggris sama dengan yang terjadi di negeri Paman Sam. Banyak pihak yang mengritik Blair hanyalah seorang oportuis. Karena keterlibatannya dalam invasi Irak, membuat rating dia terus menurun di dalam negerinya. Nelson Mandela pernah melontarkan ktitik tajam bahwa Blair tidak lebih dari menteri luar negerinya Amerika.
Dengan melihat gambaran di negara-negara Barat tersebut dan untuk saat ini, kita bisa mengatakan bahwa konservatisme telah mengalahkan liberalisme. Konservatisme tentu bukan fundamentalisme, walaupun keduanya mengusung kembali jargon masa lalu dan berusaha mempertahankan status quo. Ini juga berarti enggan menerima pembaharuan dan mungkin sedikit kurang toleran terhadap hal-hal yang berbau asing. Jika konservatisme telah memegang kendali, musuh utamanya bukanlah liberalisme, tetapi adalah konservatisme dalam bentuk lain. Konservatif Barat akan berbentur dengan konservatif Timur, begitu juga konservatif Kristen akan bentrok dengan konservatif Islam. Yang mungkin menjembatani adalah orang-orang liberal dari kedua belah pihak. Contohnya sudah jelas, yang bereaksi keras terhadap pidato Paus Benediktus XVI adalah umat Islam yang dekat dengan konservatif atau bahkan fudamentalis. Sedangkan mereka yang berpegang pada asas keterbukaan akan memaafkan dan melupakan kesalahan manusia biasa.
Posisi Bush
Di mana sekarang posisi Bush dalam percaturan politik global? Seperti gayung bersambut, sejak serangan 11 September 2001 dia terus mengampanyekan perang melawwn terorisme. Dalam banyak kesempatan dia menegaskan bahwa perang itu ibarat kebenaran versus kejahatan. Dengan sangat jelas dia mengatasnamakan Tuhan dalam tindakan politiknya. Pertanyaan selanjutnya, apakah dia seorang fundamentalis? Fundamentalisme dalam arti penganut agama sesungguhnya sulit dijelaskan. Dia pernah menggambarkan dirinya sebagai passionate conservative. Dalam berpolitik jelas dia memanfaatkan sentimen agama di Amerika. Lebih tepatnya, Bush adalah politisi pragmatis yang tahu betul bagaimana cara memanfaatkan situasi. Berkaitan dengan artikel Azra dan Maftuhin, tampaknya Amerika tidak akan pernah memimpikan negara teokrasi seperti Iran. Bush hanyalah menggunakan situasi global demi kepentingan politiknya, yang kebetulan kondusif dan mendukung kebijakannya.

Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kandidat PhD Universitas Heidelberg, Jerman.

Listening to the speech of Pope Benedict XVI


Opinion and Editorial, The Jakarta Post (September 19, 2006)

Al Makin

During his visit to his home country Germany, Pope Benedict XVI (formerly Cardinal Joseph Ratzinger) dropped in on Thursday Sept. 12, 2006, at his former Regensburg University.
From 1969 to 1977 he was a professor of dogmatics at the school and this year he delivered a speech there, broadcast live on many German TV channels. More than 25,000 people in the hall of the university welcomed him and after the long formalities and various choirs, he spoke about Glaube, Vernunft und Universitedt (Faith, Reason and Universality).

The speech drew my interest as a Muslim, who by accident had turned on the TV and watched the live broadcast. The original text of the pope's speech can be read at www.oecumene.radiovaticana.org/ted/Articolo.asp?c=94864.
During his speech, the pope raised at least three concepts that seemed related directly to the current Muslim world and its relationship to the West. First, he mentioned three important scriptures in the modern world: the Old Testament, the New Testament and the Koran. He clearly stated that they were "drei gesetze (three rules/laws)."

Second, he said the readers of the scriptures, the Christians and Muslims, should understand them through reasoning, not violence. To quote him directly, "Der Glaube ist Frucht der Seele, nicht des Kvrpers (faith is an expression of the soul not the body)." Taking an example, he said that to believe in the existence of God is to think with reason, not to use threats.

Therefore, any use of violence, war or weapons in the relations among believers of the same -- or different -- religion is unacceptable. God, he said, should be understood with "logos/words."
In doing so, the pope defined how and why God exists. In the Muslim tradition, logos may be equated to the kalam of both the classical and modern Muslim intellectuals. In both logos and kalam, people are told to exercise their intellectual facilities, to think of the theology rather than take up arms. As a Muslim, I totally agree with this, and I think nobody would argue it.
Then the pope raised the interfaith dialog issue. In his careful words and wisdom, he made an example of the dialog in the past between Byzantium Caesar Manuel II Palaeologos in 1391 and an educated Persian about relations between Islam and Christianity. In short, the dialog led to a conclusion that the use of reasoning should be put higher than violence in matters of faith. Accordingly, the dialog should not be performed by using weapons or threats. The parties involved should exercise their commonsense to understand others, the pope said.
Listening to the pope's speech one may also relate this issue to the contemporary crisis in the current world, in the Middle East or even in Indonesia. Although the pope mentioned the word jihad in his speech, he did not comment further on the issue.

After listening to the speech as a whole, one might question why the peace of the world is under threat.
It is because people tend to use weapons to solve problems rather than sitting down together and talking. The former is violence, whereas the latter is reasoning.
In the past, during the Renaissance, many people argued against the existance of religions, especially against the Church. Religion was far from a reasoned ideal of humanity, people were told. People repeatedly questioned the role of faith in society and was not strange that a figure like Friedrich Nietzsche emerged.

In many of his works he provoked us to think about the origin of humanity, good, evil and religion. That was then, this is now. The current world situation seems to be little about deep thinking and more about politics; with religion used to justify violence for political ends.
One example is United States President George W. Bush's speech commemorating the five-year anniversary of the Sept. 11 attacks, which is also available at www.iht.com. He described when the terrorists ".... murdered people of all colors, creeds, and nationalities -- and made war upon the entire Free World."

The speech was made in the context of the numerous victims of the collapse of the twin towers. It was delivered on a day of mourning and it stressed that the security of the nation should be a top priority. It, of course, was Bush's right and duty to say this as a politician.
After that, the president spoke about the actions taken against the people responsible for the disaster: "Since that day, America and her allies have taken the offensive in a war unlike any we have fought before." During recent days the popularity of Bush and his Republican Party has been under extreme pressure and the Democrats will take any chance to lead public opinion, as the mid-term elections draw nearer. Bush reminded his people that "Dangerous enemies have declared their intention to destroy our way of life."

It would be misleading to compare the speech of the pope to that of the U.S. president; each serves its own purpose and has its own context. The first speaker is a religious leader, while the second is a head of state.

However, one thing is relevant. Both spoke about violence and enmity. Although the pope does not single out specific parties for using violence, reading his speech most people will understand that every war is violence. The pope delivered a clear message of peace.
The writer is a lecturer at the Sunan Kalijaga State Islamic University in Yogyakarta and Ph.D candidate at the Seminar fur Sprachen und Kulturen des Vorderen Orients, Heidelberg University, Germany. He can be reached at makin@stud.uni-heidelberg.de.